Sabtu, 13 September 2008

Ijinkan Aku Menciummu Ibu...


Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu.
Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi. Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayangmengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya. Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi akuyang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu.
Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.

0 comments:

Saatnya Kita Peduli

Mimpi Kita Tentang Ruang Publik JAKARTA, yang Mendukung Kehidupan yang Berkualitas di tumbuhkan dari Sejengkal RUMAH TINGGAL, itulah kami Rumah Baca Zhaffa.

Donasi Untuk kami.
Agar Rumah Baca Zhaffa bisa berkembang dan jumlah buku bisa bertambah serta sarana lebih lengkap, kami mengajak anda para pembaca, donatur. Baik secara individu, organisasi maupun korporat, jangan sungkan-sungkan membantu dan bergabung bersama kami. Kami sangat terbuka untuk kemajuan pendidikan, dukungan anda sangat berarti bagi pendidikan anak Indonesia.
Silahkan kirimkan apa saja, baik baru maupun bekas pakai (tapi masih layak) berupa buku, majalah, buletin, tabloid, mainan edukatif, laptop, infocus, speaker atau dana ke Rumah Baca Zhaffa.

Anda bisa mendongeng, sulap, melukis, tari, operet,teater ataupun apa saja yang bisa meramaikan kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, kami mengundang anda untuk bergabung menjadi relawan Rumah Baca Zhaffa.
Silahkan kontak kami.

jika ada perusahaan/lembaga yang ingin menyalurkan CSR-nya kami berikan kompensasi , logo perusahaan akan kami sertakan di setiap liflet/poster/spanduk kegiatan. Juga di http://rumahbaca-zhaffa.blogspot.com/ dan di lokasi Rumah Baca Zhaffa. Jika ada yang ingin urun rembuk mengatasi dana operasional, berapa saja, dengan senang hati dan bahagia kami menerimanya.
alamat Rb Zhaffa Jl. Menara Air VII NO. 30A RT. 07/011 Manggarai – Jakarta,
Telp 081905098709



Donasi Untuk Rumah Baca Zhaffa.
1. Bank BSI, No Rek:79-9999-4045, A/N RUMAH BACA ZHAFFA, Cabang Sudirman, Jakarta.

Jika anda mentransfer donasi , informasikan kembali kepada kami melalui rumahbacazhaffa@gmail.com atau wonkyudyzhaffa@yahoo.com atau 081905098709 (yudy)