
Jangan Cuma Seremonial
RENDAHNYA budaya membaca yang disebabkan kurangnya akses terhadap bahan bacaan mengakibatkan kita tidak mengalami budaya membaca atau menulis. Ada banyak faktor yang membuat budaya membaca tidak begitu berkembang di negeri ini. Hampir semua orang sepakat bahwa buku merupakan jendela dunia.
Dunia perbukuan Indonesia cukup berkembang terbukti setiap diadakan pesta buku atau pameran buku, banyak penerbit mengeluarkan buku-buku baru. Memang tidak ada data yang pasti berapa jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia setiap tahunnya. Tetapi bisa dikatakan juga bahwa para penerbit dan toko buku besar lebih banyak terkonsentrasi di kota besar, terutama Pulau Jawa. Maka, penyebaran informasi melalui buku pun tidak merata. Kalaupun ada yang menjangkau daerah atau luar Jawa, harga buku sudah sangat jauh melambung.
Upaya pemerintah menganggap persoalan budaya baca ini begitu penting. Ajakan untuk membudayakan membaca ini hampir semua presiden melakukannya. Dari mulai presiden pertama kita Soekarno hingga presiden kita sekarang Soesilo Bambang Yudhoyono. Ada yang mencanangkan gerakan Tahun Kunjungan Perpustakaan, Hari Aksara Nasional atau Gerakan Membaca Nasional serta Pemberdayaan Perpustakaan. Meskipun begitu, budaya membaca ini masih begitu sangat jauh dari yang diharapkan. Gerakan membaca hanya menjadi gerakan seremonial saja. Oleh karena itu perlu ada upaya konkret yang dilakukan untuk membudayakan baca di Indonesia.
Perpustakaan yang didirikan pemerintah hanya menjangkau di tingkat pemerintah daerah atau kabupaten saja. Belum menyentuh lapisan masyarakat bawah. Seharusnya pemerintah membuat perpustakaan hingga ke pelosok-pelosok negeri seperti halnya gerakan KB yang sampai jauh ke bawah. Partisipasi masyarakat Beberapa individu dan komunitas masyarakat akhirnya merasa prihatin dan terpanggil dengan susahnya masyarakat terhadap akses bahan bacaan.
Tumbuhlah sekarang yang dinamakan taman bacaan-taman bacaan independen. Menurut beberapa literatur, perkembangan taman bacaan mulai terlihat aktif sekitar 2001. Dan pergerakannya dimulai di Bandung dengan adanya Tobucil, Toku Buku Kecil, milik Tarlen Handayani. Tobucil menggunakan sebagian pendapatannya untuk mendanai taman bacaan gratis. Taman bacaan ini juga melakukan berbagai kegiatan-kegiatan aktivitas yang mendukung kegiatan membaca, seperti klub baca atau juga klub menulis.
Tokoh inspirasi bagi kalangan taman bacaan adalah Dauzan Farook dan 'Mabulirnya' (majalah dan buku bergilir).
Keprihatinan juga dirasakan sebuah komunitas yang berawal dari milis 1001buku@yahoogroups. Komunitas yang berdiri pada tahun 2002 ini berkeinginan mewujudkan harapan anak-anak terhadap ketersediaan bahan-bahan bacaan yang berkualitas. Mereka mengumpulkan buku-buku dari individu-individu dan perusahaan-perusahaan lalu mendistribusikan buku-buku tersebut ke berbagai taman bacaan yang membutuhkan. 1001buku juga sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan taman bacaan yang sudah bergabung di jaringannya. Bisa dikatakan hampir semua taman bacaan independen yang berdiri pernah merasakan tangan-tangan mulia para relawan 1001buku. Di milis ini merupakan tempat berkumpulnya para pecinta buku yang peduli terhadap akses bacaan.
Gola Gong, yang memiliki nama asli Heri Hendrayan Haris juga merupakan salah satu orang yang membantu perkembangan budaya baca di Indonesia. Di tempat tinggalnya di Banten, dia mendirikan Rumah Dunia. Sebuah wadah interaksi sosial bagi warga Banten. Tempat berkumpulnya para penulis-penulis muda kreatif. Dengan latar belakang jurnalisme, dia memberikan pelatihan-pelatihan menulis buku kepada anak-anak. Ada pelatihan mendongeng, sastra, dan puisi. Moto Rumah Dunia adalah "Rumahku adalah rumah dunia, aku membangunnya dengan kata-kata."
Walau pergerakan mereka informal, tidak seperti perpustakaan pemerintah, kontribusi taman bacaan yang ada di masyarakat sangat besar terhadap tumbuhnya kesadaran pentingnya membaca.
Jadikan rumahmu sekolah bagi anakmu!
Rumah Baca Zhaffa.
0 comments:
Posting Komentar