Namanya Dika (nama samaran), siswa kelas 2 SD. Di usianya, ia seharusnya sudah lancar membaca buku cerita. Tapi kenyataannya, untuk mengenali huruf pun Dika masih terbata. Tahun ajaran pun berganti, namun Dika tetap di kelas yang sama. Ia tidak naik kelas. Bukan karena ia malas—tapi karena ia tertinggal terlalu jauh.
Sang guru, dengan segala upaya dan kepeduliannya, telah mencoba menolong. Ia memberi waktu tambahan belajar, mengajak Dika membaca lebih sering. Namun di tengah puluhan murid lainnya yang juga butuh perhatian, akhirnya ia mengaku lirih,
“Saya sudah tidak mampu... Saya butuh bantuan. Dika perlu tempat khusus. Tempat yang lebih sabar, lebih fokus, dan bisa mendampinginya belajar membaca.”
Siang itu, seorang guru negeri berpakaian seragam datang ke Rumah Baca Zhaffa. Ia membawa Dika, bersama seorang siswa perempuan lainnya yang juga mengalami kesulitan membaca. Mereka ditemani dua orang tua, yang berharap anak-anak mereka masih punya kesempatan untuk mengejar ketertinggalan.
Sang guru bercerita, bahwa jika kedua anak ini tidak menunjukkan kemajuan dalam tahun ajaran ini, maka mereka harus pindah sekolah atas persetujuan orang tua. Tapi di tengah cerita yang berat itu, terselip harapan: beberapa siswa yang sebelumnya juga tertinggal kini sudah mulai lancar membaca.
Ketika ditanya di mana mereka belajar, jawabannya pun menggugah hati:
“Kami belajar di Rumah Baca Zhaffa.”
Dan di situlah segalanya dimulai.
Rumah Baca Zhaffa hadir, bukan untuk menggantikan sekolah. Tapi untuk menjadi ruang harapan.
Tempat di mana anak-anak seperti Dika disambut bukan dengan tuntutan nilai, tapi dengan pelukan, kesabaran, dan keyakinan bahwa semua anak bisa berkembang—asal diberi kesempatan.
Di ruang sederhana itu, Dika mengeja perlahan. Menyusun huruf demi huruf tanpa takut ditertawakan. Dibimbing oleh para relawan yang percaya bahwa tak ada anak yang bodoh—hanya anak yang belum menemukan cara belajar yang tepat.
Hari demi hari berlalu. Kemajuan kecil menjadi cahaya besar.
Mulai dari mengenali huruf dengan percaya diri, menyusun suku kata sederhana, hingga akhirnya membaca satu kalimat utuh yang membuat wajahnya bersinar bahagia.
Dan ketika hari itu tiba—hari di mana Dika bisa membaca lantang tanpa ragu—bukan hanya ia yang akan bangga. Tapi guru yang dulu hampir menyerah pun akan kembali bersemangat, menyaksikan muridnya tumbuh dengan bantuan tangan-tangan yang tulus.
Karena Rumah Baca Zhaffa bukan sekadar tempat membaca.
Ia adalah tempat di mana anak-anak yang tertinggal diberikan ruang untuk menyusul.
Tempat di mana tangan-tangan sukarela hadir, bukan untuk menghakimi, tapi untuk membimbing.
Tempat di mana pendidikan tidak sekadar soal rapor dan nilai—tapi soal keberanian untuk tidak menyerah pada satu anak pun.
#Cerita berdasarkan kisah nyata di Rumah Baca Zhaffa.